Selamat datang

WELCOME HERE !!!!

SEJARAH


Liturgi dan lain-lain yang berkaitan dengan tradisi Gereja Katolik
Showing posts with label Busana. Show all posts
Showing posts with label Busana. Show all posts

Hari Raya Santo Petrus dan Paulus


Setiap tahun pada tanggal 29 Juni, gereja Katolik sedunia punya gawe penting, Hari Raya Santo Petrus dan Paulus. Di tahun 2009, hari raya ini jatuh pada hari Senin. Mungkin umat tidak banyak yang perhatian dengan hari raya ini. Tidak seperti Hari Raya Tritunggal Mahakudus atau Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus yang selalu jatuh pada hari Minggu. Saya akan menulis sedikit tentang tradisi Katolik di Hari Raya Santo Petrus dan Paulus ini.

Dari namanya saja, orang mungkin bisa membayangkan bahwa hari raya ini penting bagi paus dan para uskup, penerus Santo Petrus. Memang, banyak uskup yang ditahbiskan pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, termasuk Uskup Agung Emeritus Medan AGP Datubara (1975), Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja (1983) dan Uskup Surabaya Vincentius Sutikno Wisaksono (2007). Dengan demikian, bersamaan dengan hari raya ini di beberapa keuskupan dirayakanlah peringatan ulang tahun tahbisan uskup, sesuai yang diamanatkan oleh Caeremoniale Episcoporum (Tata Upacara Para Uskup). Sebagai tambahan, Paus Benediktus XVI juga ditahbiskan menjadi imam di hari raya ini (1951).
Di Vatikan, hari raya ini selalu dirayakan dengan meriah, dengan tradisi penganugerahan palium kepada uskup agung yang baru ditunjuk memimpin suatu metropolitan (keuskupan agung di kota besar penting bagi gereja Katolik, yang membawahkan keuskupan sufragan lainnya). Apa itu palium? Coba lihat foto Uskup Agung Timothy Dolan di sebelah ini. Palium adalah semacam kalung atau selempang yang dipakai di luar kasula (busana terluar imam untuk perayaan ekaristi). Di bagian bawah juga ada dua foto paus dengan palium model lama yang lebih besar dan panjang. Seorang uskup agung boleh saja menerima tahbisan uskup dari uskup lainnya, tapi beliau hanya akan menerima palium dari paus.
Dalam kurun waktu 30 Juni 2008 sampai dengan 28 Juni 2009, ada 34 orang uskup agung yang baru ditunjuk memimpin metropolitan. Beliau-beliau inilah yang pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus yang lalu menerima palium dari Paus Benediktus XVI. Dua di antara mereka kita mungkin kenal, Uskup Agung Medan Anicetus Bongsu Antonius Sinaga dan Uskup Agung Colombo Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don, yang pernah menjadi Duta Besar Vatikan di Indonesia.
Palium adalah asesoris khas yang hanya diberikan kepada uskup agung metropolitan. Palium tidak diberikan kepada uskup agung yang tidak memimpin metropolitan (misalnya para duta besar Vatikan di berbagai negara) atau uskup biasa. Asesoris ini dibuat dari bulu domba, yang sesuai tradisi Katolik diberkati oleh paus pada Peringatan Santa Agnes (21 Januari). Domba yang diberkati paus ini kemudian dicukur pada hari Kamis Putih, dan bulunya ditenun menjadi palium yang kemudian dianugerahkan kepada para metropolitan. Palium melambangkan anak domba, yang oleh Kristus diserahkan kepada Petrus untuk digembalakan (Yoh 21, 15-17). Palium juga melambangkan Kristus sendiri, gembala yang baik, yang memanggul domba yang hilang di pundaknya dan membawanya pulang. Asesoris dari bulu domba ini memang dikenakan dengan dikalungkan di pundak. Kelihatan sederhana, tapi sungguh sarat makna, seperti juga busana gereja yang lainnya.
Albert Wibisono2 comments

Bookmark and Share

Busana Asisten Imam


Bagaimana model jubah Asisten Imam yang benar? Atau tepatnya, seperti apa busana yang harusnya dikenakan Asisten Imam atau Pro Diakon yang nama resminya adalah Pelayan Komuni Tak Lazim? Bagaimana aturan gereja Katolik mengenai hal ini? Di beberapa gereja yang sempat saya kunjungi ada praktik-praktik yang sudah baik dan benar, tapi ada pula yang menyalahi aturan liturgi atau menyimpang dari tradisi gereja Katolik. 

Pedoman Umum Misale Romawi menyebut bahwa "Busana liturgis yang lazim digunakan oleh semua pelayan liturgi, tertahbis maupun tidak tertahbis, ialah alba, yang dikencangi dengan singel, kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut singel. Kalau alba tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum alba. ..." (PUMR 336) Lebih lanjut ditulis "Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gereja yang bersangkutan." (PUMR 339)

Di atas adalah pasal-pasal yang membolehkan Pelayan Komuni Tak Lazim pakai alba. Saya perlu garis bawahi di sini, membolehkan, bukan mengharuskan. Lho, jadi Asisten Imam tidak harus pakai alba? Jawabnya tidak, bahkan tidak harus pakai busana liturgis apapun. Busana awam sehari-hari pun juga boleh. Memang, di Vatikan nggak ada Pelayan Komuni Tak Lazim (karena jumlah imam yang bisa bantu bagi komuni sudah lebih dari cukup); dalam kasus ini Vatikan nggak bisa kita jadikan acuan.
Yang jelas, di Vatikan Lektor nggak pakai busana liturgis apapun. Lektor yang adalah awam, ya berbusana awam, sopan dan rapi. Di Amerika Serikat, Pelayan Komuni Tak Lazim dan Lektor pun berbusana awam biasa. Kesimpulannya, sekali lagi tidak harus pakai busana liturgis apapun, tapi seandainya toh mau pakai, bisa pakai alba.
Di foto paling atas, para pelayan komuni tak lazim di Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya memakai alba model Roma, dengan ploi/lipit (lipatan), dan dikencangkan dengan singel. Mungkin lebih jelas lagi di foto yang hanya seorang AI ini. Longgar sekali memang alba ini, di bagian bawah kelilingnya 3 meter. Itu yang bikin indah. Oh ya, alba ini nggak semahal yang dibayangkan orang. Berikut singelnya harganya nggak lebih dari Rp 180.000. Silakan klik di foto untuk memperbesar.

Masih ada lagi yang bisa disimpulkan dari aturan di atas. Yang pertama, amik, alba dan singel bukanlah monopoli imam. Amik, alba dan singel adalah busana semua pelayan liturgi, tertahbis (uskup, imam dan diakon) maupun tidak (awam). Yang kedua, sekiranya dipandang perlu untuk menggunakan busana lain (selain alba), adalah konferensi uskup yang berhak memutuskannya (bukan seorang uskup, sekalipun untuk wilayahnya sendiri). Yang ketiga, yang benar adalah alba, bukan jubah.

Apa sebenarnya beda alba dengan jubah? Kita semua pernah melihat imam atau uskup pakai jubah. Biasanya jubah dibuat dari bahan yang relatif lebih tebal jika dibandingkan dengan alba. Harusnya jubah klerus dibuat dari wol atau bahan yang setara mutunya (Ut Sive Sollicite 1969). Pada bagian badan atas sampai dengan pinggang, jubah tidak longgar, pas di badan. Alba biasanya dibuat dari bahan yang relatif lebih tipis dari jubah dan berukuran besar (longgar) dari atas sampai ke bawah, makanya perlu diikat dengan singel. Alba selalu berwarna putih, jubah tidak. Bahkan, menurut tradisi katolik jubah warna putih sebenarnya merupakan privilese paus. Kalau mau tahu lebih detil boleh baca artikel saya tentang
Busana Imam ini.
Yang terakhir yang mau saya sampaikan, kalau mau pakai busana liturgis ya pakailah alba dan singel (plus amik, kalau perlu). Itu aja. Jangan ditambah apa-apa lagi, kawatirnya malah jadi salah. Coba lihat Busana AI di foto sebelah ini. Yang pertama, ini adalah jubah, bukan alba, jadi kurang tepat. Lalu, ada tambahan asesoris salib dada. Ini juga kurang tepat dan bahkan menyalahi aturan busana gereja Katolik, karena salib dada (cruce pectoralis), model apapun, merupakan privilese uskup. Kalau mau tahu lebih detil juga, boleh baca artikel saya yang lain tentang Busana Uskup.
Albert Wibisono0 comments

Bookmark and Share

Apa Itu Tenebrae?


Adakah di antara Anda yang pernah mendengar kata Tenebrae? Di sebuah gereja di Surabaya, menurut sumber saya, sudah tiga tahun ibadat ini diadakan, dari 2005-2008. Dari internet, saya juga temukan
Teks Tenebrae di Seminari Santo Paulus, yang diadakan pada hari Jumat Suci 2003. Apa sebenarnya Tenebrae ini? Siapa yang perlu melaksanakan ibadat ini dan bagaimana bentuknya yang benar? Tulisan ini saya sajikan untuk memberi gambaran awal tentang ibadat kuno yang cukup populer ini.

Tenebrae adalah kata dalam bahasa Latin yang artinya kegelapan. Dalam tradisi Katolik, Tenebrae adalah nama yang diberikan untuk gabungan dari Ibadat Bacaan (Officium Lectionis) dan Ibadat Pagi (Laudes) yang dilaksanakan pada Trihari Suci Paskah. Disebut gabungan, karena memang penyelenggaraan kedua ibadat ini digabungkan; Ibadat Pagi dilaksanakan segera setelah Ibadat Bacaan selesai.

Buat yang belum pernah dengar tentang Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi, keduanya adalah bagian dari Ibadat Harian, atau gampangnya sholatnya orang Katolik. Memang, orang Katolik pun harusnya sembahyang beberapa kali sehari; bukan cuman 5 waktu tapi malahan 7 waktu. Apa saja ketujuh waktu itu? Ada Ibadat Pagi (Laudes) yang dilaksanakan saat matahari terbit dan Ibadat Sore (Vesper) yang dilaksanakan saat matahari terbenam. Di antara keduanya, ada Tertia, Sexta dan Nona, yang sesuai namanya diselenggarakan pada jam ketiga, keenam dan kesembilan, dihitung dari sejak matahari terbit. Untuk mudahnya, kalau kita anggap matahari terbit pukul 6:00 pagi, maka Tertia diadakan pada pukul 9:00, Sexta 12:00 dan Nona 15:00. Nah, sampai di sini sudah ada lima ibadat. Berikut, ada yang namanya Ibadat Bacaan, yang sekarang bisa dilakukan kapan saja, meski dulunya ibadat ini dilakukan di tengah malam. Yang terakhir adalah Ibadat Penutup (Completorium) yang dilakukan sebelum tidur, pukul berapapun tidurnya.

Mari kita kembali ke Tenebrae. Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa Tenebrae adalah bagian dari Ibadat Harian. Dengan begitu, Tenebrae adalah liturgi, bukan devosi. Sebagai bagian dari Ibadat Harian dalam Trihari Suci Paskah, Tenebrae tentu tidak boleh menggantikan perayaan liturgi yang biasa kita hadiri pada Trihari Suci Paskah: Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci. Tata perayaan liturgi Trihari Suci Paskah itu sendiri, yang berawal dari tradisi kuno gereja, harus dilaksanakan dengan taat dan religius dan tidak boleh diubah oleh siapapun atas insiatif sendiri, demikian yang tertulis di Sirkuler Kongregasi Ibadat Ilahi tentang Persiapan dan Perayaan Pesta Paskah (Feb 1988). Sirkuler ini juga yang meminta agar Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi pada hari Jumat Agung dan Sabtu Suci (=Tenebrae) dilaksanakan dengan kehadiran umat, bukan cuma oleh para klerus. Untuk kepentingan itu, maka waktunya pun perlu disesuaikan. Tentu susah mengharapkan kehadiran umat manakala Tenebrae ini dimulai pada pukul 3:00 pagi seperti pada jaman dahulu kala di biara-biara. Lalu, kapan waktu yang tepat? Boleh saja dibikin di pagi hari Jumat Agung dan Sabtu Suci. Bagaimana kalau ada devosi jalan salib di pagi hari Jumat Agung? Pakar liturgi C.H. Suryanugraha OSC mengatakan bahwa kebiasaan jalan salib di pagi hari ini sebenarnya kurang tepat.
Ia mengingatkan bahwa Paus sendiri melaksanakan jalan salib di malam hari Jumat Agung. Pakar liturgi yang lain, P. Boli Ujan SVD meyakinkan bahwa sesuai Pedoman Ibadat Harian (PIH), Ibadat Bacaan dapat didaraskan pada setiap waktu sepanjang hari (PIH 59). Lebih lanjut mengenai Ibadat Harian dalam Trihari Suci Paskah dapat dibaca di PIH 208-213.

Berikutnya, mari kita bahas tata upacara Tenebrae. Ibadat ini, seperti juga Ibadat Harian lainnya, aslinya adalah nyanyian Gregorian, dalam bahasa Latin. Lagunya sangat indah dan suasananya ibadatnya sangat dramatis, dengan nuansa berkabung dan kesedihan yang mendalam. Ibadat ini dulunya dilaksanakan di biara-biara mulai pukul 3:00 pagi, diterangi cahaya 15 lilin di kandelar khusus seperti yang terlihat di foto sebelah, plus 6 lilin di altar. Lilin-lilin ini nantinya satu persatu dipadamkan hingga tercapai kegelapan yang sempurna. Itu sebabnya ibadat ini dinamakan Tenebrae, yang artinya kegelapan. Sekarang ini, Tenebrae memang tidak lagi dimulai pukul 3:00 pagi, namun 15 lilin (atau kadang dimodifikasi menjadi hanya 7 lilin) dengan kandelar khusus itu toh tetap digunakan. Dalam praktiknya, bahkan ada pemikiran bahwa upacara yang dibikin dengan lilin-lilin yang dipadamkan satu persatu lalu boleh disebut Tenebrae. Sebaiknya kita berhati-hati dengan Tenebrae yang digagas saudara-saudara kita Kristen non-Katolik. Umat Katolik sebaiknya berhati-hati menggunakan tata upacara atau partitur Tenebrae yang ada di internet atau yang dibeli dari luar negeri. Kurang pas rasanya kalau kita menggunakan liturgi Protestan di dalam gereja Katolik. Dalam tradisi Katolik, Tenebrae dilaksanakan dalam suasana berkabung yang amat mendalam. Organ tidak pernah dipakai dalam Tenebrae, juga tidak dimainkan sebelum dan sesudah ibadat ini (Ceremonies of the Liturgical Year 409, Elliott, 2002).

Tenebrae menurut tradisi Katolik sebelum Konsili Vatikan II memiliki unsur-unsur berikut. Yang pertama adalah Ibadat Bacaan. Ibadat Bacaannya terdiri dari 3 Nocturna, yang masing-masing terdiri dari 3 Mazmur dan 3 Bacaan plus Tanggapannya. Kalau ditotal, semuanya ada 9 Mazmur. Nah, berikutnya adalah Ibadat Pagi. Ibadat Paginya terdiri dari 5 Mazmur dan Kidung plus satu lagi Kidung Zakaria (Benedictus) sebagai puncaknya. Nah, lilin yang 15 buah tadi nantinya dimatikan satu persatu setiap kali selesai mendaraskan mazmur atau kidung yang jumlahnya 14 (tidak termasuk Kidung Zakaria). Berikutnya, satu persatu lilin di altar yang jumlahnya 6 buah juga dimatikan setiap kali selesai mendaraskan 6 ayat-ayat terakhir Kidung Zakaria. Sampai di sini tinggallah satu lilin di puncak kandelar khusus yang berisi 15 lilin tersebut. Satu lilin itu pun lalu diambil dan disembunyikan di bawah altar sehingga terjadi kegelapan yang sempurna. Pada saat yang sama, semua yang hadir menimbulkan kegaduhan, biasanya dengan memukul-mukulkan Buku Ibadat Harian (Brevir) ke bangku. Ini untuk mensimulasikan gempa yang terjadi saat Yesus wafat. Setelah itu, lilin yang disembunyikan di bawah altar dikeluarkan lagi dan ibadat berakhir dengan khidmat.

Supaya lebih jelas, berikut saya berikan contoh rumusan Tenebrae untuk Jumat Agung.
Ini saya ambil dari Missale Romanum 1962 terbitan Baronius. Rumusan ini ada juga di Liber Usualis. Pertama, kita mulai dengan Ibadat Bacaan. Nocturna Pertama: Mazmur 2, 21 dan 26 plus 3 bacaan yang diambil dari Kitab Ratapan (Nabi Yeremia) 2. Nocturna Kedua: Mazmur 37, 39 dan 53 plus 3 bacaan yang diambil dari tulisan Santo Agustinus. Nocturna Ketiga: Mazmur 58, 87 dan 93 plus 3 bacaan yang diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Orang Ibrani 4. Setelah selesai Ibadat Bacaan dengan tiga nocturna itu, kemudian dilanjutkan dengan Ibadat Pagi. Mazmur 50, 142, 84, Kidung Habakuk III, Mazmur 147 dan akhirnya Kidung Zakaria. Itu semua kalau didaraskan akan makan waktu setidaknya 2.5 jam.

Nah, di atas adalah format Tenebrae hasil reformasi terakhir sebelum Konsili Vatikan II. Setelah Konsili Vatikan II, formatnya jauh lebih sederhana, tapi tentu tetap adalah format Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi yang digabungkan. Kalau mau detailnya, untuk yang Jumat Agung bisa dibaca sendiri di Buku Ibadat Harian (Brevir), mulai halaman 168. Kalau juga pengin tahu aslinya dalam bahasa Latin, boleh coba klik di link Liturgia Horarum Online ini.

Rumit dan panjang yah? Memang, itu sebabnya ibadat ini biasanya dipandu oleh seorang
Magister Caeremoniarum. Oh ya, uskup atau imam yang hadir dalam ibadat ini tidak memakai kasula atau pluviale. Mereka hanya memakai habitus choralis atau gampangnya busana panti imam. Untuk uskup, ini berarti jubah dan selendang sutera ungu dengan rochet putih dan mozetta ungu serta salib pektoral yang digantung dengan tali anyaman hijau emas, plus pileola (solideo) dan biretta ungu. Untuk imam, ini berarti jubah mereka (yang menurut tradisi Katolik berwarna hitam) plus superpli putih. Kalau jubah imam berwarna putih dan tidak terlihat indah dikombinasikan dengan superpli yang juga berwarna putih, boleh saja imam memakai alba putih dan singel. Stola tidak dikenakan baik oleh uskup maupun imam.

Rasanya saya harus berhenti sebelum tulisan ini jadi terlalu panjang. Akhirnya, kalau ada yang tertarik untuk bikin atau mempelajari ibadat Tenebrae ini, boleh saja hubungi saya.

Artikel lain yang relevan:
- Magister Caeremoniarum
- Busana Uskup
- Busana Imam

Link: Tenebrae (New Advent Catholic Encyclopedia)
Link: Tenebrae (Wikipedia)
Link: Tenebrae (Sisters of Carmel)
Link: Tenebrae Contoh Gregorian - Kitab Ratapan Nabi Yeremia (MP3 - 7.7MB - WDTPRS)

Albert Wibisono3 comments

Bookmark and Share

Paus Pakai Topi Santa Claus?

Sudah lama saya pengin nulis tentang topi santa claus ini. Lumayan lah buat selingan, daripada serius terus, he3. Natal yang lalu akhirnya nggak sempat, baru sekarang ini kesampaian. Sudah basi memang, maaf, daripada nggak juga keturutan.

Foto di sebelah ini diambil Franco Origlia, 28 Desember 2005.
Itu adalah hari Rabu, hari audiensi umum Paus. Masih kental suasana natal di Lapangan Santo Petrus Vatikan. Untuk pertama kalinya Paus Benediktus XVI pakai topi model itu di muka umum. Banyak yang mengira Paus mau becanda, pakai topi santa klaus pas natalan. Jawabnya enggak, he3. Bapa Suci memang lagi melestarikan tradisi. Topi itu namanya camauro dan memang khusus hanya untuk Paus. Sudah lama sekali publik enggak melihat topi itu dipakai. Paus yang terakhir memakainya adalah Yohanes XXIII. Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus I dan II tidak pernah terlihat memakainya. Ada unsur selera sih.

Camauro biasanya terbuat dari beludru warna merah tua dengan pinggiran dari bulu ermine, sejenis berang-berang berwarna putih. Umumnya camauro dipakai bersamaan dengan mozetta (mantol kecil penutup pundak dan tubuh bagian atas) dari bahan dan warna yang sama plus pinggiran yang sama pula. Matching gitu lah. Coba lihat lukisan foto Paus Leo X (1513-1521) di samping kanan ini. Di sebelah kiri dan kanan adalah Kardinal Giulio de' Medici yang kemudian menjadi Paus Klemens VII (1523-1534) dan Kardinal Luigi de' Rossi.

Lihat juga lukisan foto Paus Yulius II (1503-1513) di sebelah kiri ini. Yulius II adalah Paus yang memulai perencanaan dan pembangunan Basilika Santo Petrus modern yang hari ini kita lihat. Di kedua lukisan foto karya pelukis besar Raphael ini, kedua Paus terlihat memakai camauro dan mozetta dari beludru merah dengan pinggiran dari bulu ermine warna putih. Nah, itu adalah norma yang biasa. Meski begitu, ada juga yang agak lain. Paus Benediktus XVI di foto atas pakai camauro-nya tanpa mozetta merah tua. Seperti terlihat, Paus pakai (dari dalam) simar atau jubahnya yang warna putih, greca atau jaket putih panjang double breasted (dengan kancing dobel) dan yang paling luar dengan warna merah menyala adalah mantol kebesarannya yang disebut tabaro. Paus Benediktus XVI bukan yang pertama pakai kombinasi ini. Sebelumnya Paus Yohanes XXIII juga sering terlihat pakai kombinasi camauro dan tabaro.

Kalau pengin lihat lebih banyak lagi foto camauro, silakan kunjungi situs web Dappled Photo yang punya
Halaman Khusus tentang Camauro.

Nah, yang di bawah ini khusus buat yang kepingin lihat Paus becanda, pakai macam-macam topi, he3.
Yang ini asli bukan tradisi katolik :)


Albert Wibisono0 comments

Bookmark and Share

Busana Imam


Anda pernah lihat busana imam di film-film barat? Jubah hitam atau kemeja hitam dengan collar warna putih? Bagus ya? Coba lihat foto para calon imam dengan paus dan Cardinal Ruini (waktu itu Vikjen Keuskupan Roma) di atas. Dulu saya sempat penasaran, kepingin tahu kenapa collar-nya bisa begitu bagus dan rapi.
Belakangan saya tahu bahwa itu adalah kerah palsu yang terbuat dari plastik. Nah :)

Setelah membahas
Busana Uskup di artikel yang lalu, sekarang saya ingin membahas busana sehari-hari (yang seharusnya dikenakan oleh) imam. Memang, hari gini mungkin tidak banyak lagi imam yang mau memakai jubah, kecuali imam biarawan dan beberapa yang lain. Sungguh sayang. Banyak imam bahkan tampil dengan kaos oblong saja. Nyaman memang. Mungkin umat tak tega memberitahu bahwa mereka ingin pemimpinnya tampil berwibawa, tampil sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Saya salut benar kepada Uskup Surabaya Vincentius Sutikno Wisaksono yang menghimbau para imamnya untuk tampil dengan kemeja ber-collar putih. Setidaknya dengan demikian umat yang bertemu sang imam di jalan akan tahu beliau seorang imam, pemimpin dan junjungannya. Semoga artikel ini bisa mendorong pembaca untuk makin mengenal dan mencintai busana imam. Oh ya, kalau ada umat yang perlu menyatakan terima kasih kepada imamnya, tidak ada salahnya memberi busana imam kan? Daripada mengajak makan terus? He3 :)

Pada dasarnya, busana sehari-hari imam ya adalah jubah setakat mata kaki.
Sama seperti paus, kardinal dan uskup, imam juga harusnya sehari-hari tampil berjubah. Nah, sekarang kita bicara soal warna. Putih dipakai paus, merah kardinal, ungu uskup dan imam mestinya pakai warna hitam. Ini warna jubah resmi untuk keperluan liturgi ya. Kalau untuk sehari-hari, kardinal dan uskup boleh memakai warna hitam dengan aksen merah atau bahkan hitam polos. Lengkapnya silakan baca di artikel saya Busana Uskup. Kalau di Indonesia kita melihat jubah uskup atau imam berwarna putih, itu lebih karena pertimbangan iklim. Warna hitam di iklim tropis ini mungkin dianggap terlalu panas. Maka, putih juga tidak apa-apa. Nuncio (Duta Besar Vatikan) untuk Indonesia, saat ini Uskup Agung Leopoldo Girelli, juga pakai jubah warna putih dengan aksen merah. Oh ya, saya belum pernah lihat foto Nuncio tampil tanpa jubahnya, meski saya yakin beliau juga kepanasan di sini, he3, peace :)


Nah, mari kita mulai dengan collar yang dipakai para seminaris di foto di atas tadi. Seperti yang sudah saya bilang, collar ini terbuat dari plastik. Detailnya ada di dua foto di atas. Foto pertama adalah collar dalam keadaan terkancing, dengan sisi depan (sisi yang terlihat dari depan saat dipakai) ada di bawah. Di foto kedua, sisi belakang yang ada di bawah. Silakan klik di masing-masing foto untuk memperbesar.


Dua foto di atas ini menunjukkan collar dalam keadaan terbuka (tidak terkancing). Di foto pertama, sisi dalam (sisi yang bersentuhan dengan leher pemakai, berlubang-lubang untuk ventilasi) terlihat di bagian bawah.
Di foto kedua, sisi luar yang ada di bagian bawah. Perhatikan dua lubang kecil di bagian ujungnya. Itu untuk menyatukan kedua ujung collar dengan kancing.


Nah, foto di atas ini adalah kancing yang digunakan untuk menyatukan kedua ujung collar tadi, setelah dilingkarkan di leher pemakai tentunya. Kelima kancing di sebelah kiri itu sama semua modelnya. Sengaja saya foto dengan berbagai macam posisi, supaya Anda bisa bayangkan gimana cara memakainya. Dua kancing di sebelah kanan adalah model lain, yang menurut saya pribadi lebih susah memakainya. Nah, sekarang jadi tahu rahasia collar putih ya? Oh ya, collar macam di atas ini disebut Roman collar, karena asal-muasalnya dari Roma.

Collar putih ini memang terbuat dari plastik, dengan begitu mudah dibersihkan dari keringat dan kotoran. Ia juga berfungsi melindungi kerah jubah/kemeja dari kontak langsung dengan leher pemakai, supaya kerah jubah/kemeja tidak cepat kotor dan jubah/kemeja bisa dipakai beberapa kali. Pemakaian collar putih bukan monopoli imam. Sama halnya dengan pemakaian jubah yang juga bukan monopoli imam (misdinar pakai jubah juga kan?). Collar putih hanyalah pelengkap jubah. Collar putih tidak memiliki makna simbolis apapun, beda dengan stola yang menjadi identitas pelayan tertahbis (imam atau diakon) atau salib pektoral yang menjadi identitas uskup. Satu hal, misdinar, anggota koor dan pelayan lain tidak pakai jubah dan collar putih di luar kegiatan liturgi. Kalau mau, silakan baca artikel saya Collar Putih = Imam?

Berikutnya kita bahas jubahnya. Kita mulai dengan apa yang tidak terlihat. Sebelum memakai jubah, biasanya imam mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan kerah Cina, seperti terlihat di bawah ini.


Kerahnya memang lebih pendek dari kerah Cina pada umumnya, lebarnya hanya 2.5 cm. Kemeja lengan panjang ini biasanya pakai
French cuff di ujung lengannya, disatukan dengan manset dan tampak indah waktu menyembul dari bagian lengan jubah. Jadinya nanti sama seperti ujung lengan kemeja panjang biasa, yang menyembul dari jas yang dipakai seorang awam.

Nah, kemeja putih ini bisa langsung dipasangin Roman collar seperti tampak di bawah,


atau ditambah sepotong kain hitam seperti di bawah ini.


Ini model kain hitamnya, ada bagian yang bisa dijepitkan di collar.


Nah, sesudah itu semua baru jubahnya dipakai di atas hem ber-collar tadi. Bagus ya jadinya?


Sepotong kain hitam tadi bertugas menutup celah yang mungkin timbul di antara bagian bawah collar putih dan bagian kerung leher jubah hitam, supaya kemeja putihnya tidak terlihat dari luar. Agak susah membayangkannya ya? Nggak kelihatan sih di foto. Banyak lagi detil yang lain tentang jubahnya, yang nggak akan saya jelaskan di sini.
Kalau pengin tahu juga silakan kontak saya langsung lah.

Mari kita agak realistis sekarang. Seandainya toh imam belum mau pakai jubah (lagi) setiap hari, setidaknya mungkin imam mau pakai kemeja dengan collar seperti di bawah ini.
Yang berikut ini contoh round collar, yang mungkin belum ada di Indonesia. Hampir mirip dengan Roman collar, tapi yang ini cuman selapis plastiknya, bukan dua seperti Roman collar.




Collar yang berikut ini paling sederhana dan paling gampang dibikin. Sudah banyak imam yang pakai ini di Indonesia. Yang ini namanya slip collar. Collar plastiknya yang berukuran lebar 3 cm tinggal diselipkan di kerah aja. Memang nggak seindah yang Roman collar atau round collar, tapi lumayan lah. Ini sangat praktis dan mudah dipakai.




Semua collar ini adalah bagian dari tradisi gereja Katolik yang sudah berabad-abad umurnya.
Sayang sekali, saat ini mungkin lebih banyak pendeta Kristen yang memakainya daripada imam Katolik. Sampai-sampai ada seorang pendeta Kristen yang begitu gemas dan mengingatkan koleganya agar tidak memakai simbol-simbol Roma yang harusnya mereka jauhi. Kalau ada waktu, bolehlah baca artikel The Roman Catholic Priest Collar and the Uniform of Rome's Sons ini. Ada lagi artikel yang bagus sekali dari dua orang imam Katolik dari Amerika, Why a Priest Should Wear His Roman Collar. Yang terakhir ini sangat layak untuk dibaca. Jangan dilewatkan. Mari kita lestarikan tradisi ini dengan benar, sebelum dilestarikan dan diklaim oleh pihak lain. Saya agak kawatir, suatu saat nanti mungkin lagu Gregorian akan lebih banyak dinyanyikan di gereja-gereja Kristen. Saya pernah lihat poster konser Gregorian oleh Paduan Suara Kristen. Nah lu :)

Saya mempelajari ini semua dengan maksud ingin berbagi di Indonesia. Saya akan senang sekali kalau ada yang mau belajar. Di Surabaya ada dua penjahit busana gereja yang mau belajar cara membuat jubah dan lain-lain busana gereja dengan benar dan indah. Ada Bu Yulia dari Lebak Arum yang sudah melayani puluhan uskup plus ratusan imam dari seluruh penjuru Indonesia. Ada juga Bu Patricia dari CitraRaya yang sudah bisa membikin alba model Roma yang indah plus singel-nya, dengan biaya nggak lebih dari Rp 180.000.
Siapa bilang benar dan indah harus mahal?
Albert Wibisono5 comments

Bookmark and Share

Busana Uskup


Pernahkah terlintas dalam pikiran Anda, siapa penjahit yang membuat jubah yang dipakai paus? Di Roma, di sebuah jalan kecil beberapa meter dari Gereja Santa Maria Sopra Minerva dekat Pantheon, ada sebuah toko kecil dengan papan nama bertuliskan Gammarelli, Sartoria Per Ecclesiastici. Sejak didirikan oleh Antonio Gammarelli pada tahun 1798, turun-temurun keluarga Gammarelli telah menjadi langganan para paus, dengan pengecualian Paus Pius XII (1939-1958) dan Paus Benediktus XVI. Paus Pius XII memilih menggunakan penjahit langganan keluarganya dan Paus Benediktus XVI tetap menggunakan penjahit yang sama yang telah melayaninya selama lebih dari 20 tahun.

Ada beberapa penjahit busana gereja di Roma, mulai dari EuroClero yang berlokasi di seberang Lapangan Santo Petrus, Barbiconi yang melayani order lewat internet, sampai ke Gammarelli yang terlihat sederhana namun bertabur bintang. Para penjahit ini bersuara satu saat bicara mengenai jubah klerus dan khususnya petinggi gereja. Semuanya taat pada aturan yang dikeluarkan Vatikan, termasuk Ut Sive Sollicite (Instruksi Sekretariat Negara Tentang Busana, Gelar dan Lambang Kardinal, Uskup serta Prelat Minor Lain) dan Caeremoniale Episcoporum (Ceremonial of Bishops atau Tata Upacara Para Uskup).

Gereja katolik memiliki tradisi busana yang indah dan sarat dengan makna simbolis. Sayangnya, tidak banyak orang yang tertarik mempelajari tradisi ini, yang sudah ratusan tahun umurnya. Artikel ini memang berjudul Busana Uskup, tapi apa yang akan saya sampaikan di sini dapat berguna bagi semua pihak, mulai dari uskup, imam, diakon sampai misdinar dan koster serta petugas liturgi lainnya.

Tradisi mengatur busana klerus dan petinggi gereja telah dimulai berabad-abad yang lalu. Aturan terakhir yang dikeluarkan pasca-Konsili Vatikan II menyederhanakan berbagai kemewahan yang dulunya ada. Sayangnya, dalam banyak kasus, penyederhanaan yang diamanatkan oleh para Bapa Konsili sering disalahtafsirkan. Keagungan dalam kesederhanaan (noble simplicity, nobili simplicitate) yang diamanatkan oleh Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium seringkali lalu menjadi kesederhanaan saja tanpa keagungan. Busana klerus pun menjadi sederhana dan tanpa keagungan yang harusnya nampak dari seorang pemimpin umat. Dari jubah lengkap dengan biretta menjadi hem batik dan bahkan kaos polo dengan topi baseball. Kita lupa, bahwa sungguhpun umat menghargai pemimpin yang bersahaja, umat juga rindu melihat pemimpinnya tampil sebagai pemimpin. Memang, negeri kita ini panas. Tapi jangan lupa, cuaca di kota Roma bisa jauh lebih panas dari Indonesia beberapa bulan dalam setahunnya, waktu musim panas. Kita toh tidak pernah melihat paus tampil tanpa jubah putihnya.

Mari kita masuk lebih dalam mengenai busana uskup. Aturan Vatikan yang berlaku sekarang pada dasarnya membagi membagi busana uskup menjadi 3 macam, busana liturgis, busana resmi dan busana sehari-hari.

Busana Liturgis (Choir Dress-Habitus Choralis)

Busana uskup untuk upacara liturgi gereja, di dalam dan di luar wilayah keuskupannya, adalah: jubah ungu setakat mata kaki; sabuk sutera ungu; rochet dari linen atau bahan sejenis (warna putih); mozeta (mantol kecil yang menutup pundak, dengan kancing di bagian depan) ungu; salib pektoral (salib dada) dengan tali anyaman warna hijau-emas (bukan dengan rantai); pileola (topi kecil yang juga dikenal dengan nama solideo) ungu; bireta (topi segi empat dengan pom) ungu; dan stocking/kaos kaki ungu. Foto di atas adalah Uskup Robert Vasa dari Baker, Oregon, USA, yang mengenakan busana liturgi lengkap. Yang tidak kelihatan hanya sabuk sutera dan kaos kaki ungu beliau.

Cappa magna (mantol kebesaran) ungu, tanpa bulu ermine, boleh dikenakan hanya di dalam wilayah keuskupan dan untuk perayaan-perayaan yang bersifat lebih agung. Uskup senantiasa mengenakan cincin, simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya.

Gambar di sebelah kiri adalah detail dari jubah liturgis uskup warna ungu dengan mozeta dalam keadaan terpasang. Gambar di sebelah kanan adalah rochet, yang mirip dengan superpli namun berlengan sempit dan biasanya diberi pelapis sutera warna merah di bagian dalam lengan bawah. Rochet selalu dikenakan di atas jubah dan sabuk sutera ungu dan di bawah mozeta ungu, seperti tampak pada foto Uskup Robert Vasa di atas.

Uskup mengenakan busana di atas saat ia bepergian secara resmi ke atau dari suatu gereja, saat ia hadir pada suatu upacara liturgi (termasuk misa kudus dan berbagai pemberkatan) tapi tidak memimpinnya, dan pada saat lain yang ditentukan dalam Caeremoniale Episcoporum. Saat akan memimpin misa, Uskup yang tiba di gereja dengan busana liturgis di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas, stola, dalmatik pontifikal (untuk misa agung) dan kasula serta pallium (khusus untuk metropolitan/uskup agung).

Busana Resmi (Untuk Acara Resmi Non-Liturgis)

Busana uskup untuk acara resmi non-liturgis adalah: jubah hitam setakat mata kaki dengan berbagai aksen merah (bukan ungu) di bagian tepi kain dan lubang kancing; paliola (mantol kecil yang menutup pundak, terbuka dan tanpa kancing di bagian depan) hitam dengan aksen merah (mantol ini opsional, boleh dikenakan boleh tidak); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu; collare ungu; stocking/kaos kaki ungu (kaos kaki ungu ini juga opsional).
(lihat gambar)

Di daerah tropis, jubah dan paliola warna hitam dengan aksen merah ini sering diganti dengan putih atau krem muda dengan aksen merah. Ini praktik yang kita temui di Indonesia, di antaranya. Yang jelas, uskup dari negara tropis yang berkunjung ke Roma sebaiknya tidak mengenakan jubah warna putih, yang secara tradisi merupakan privilese paus. Catatan: menurut tradisi gereja katolik jubah warna hitam polos adalah untuk imam, ungu untuk uskup, merah untuk kardinal dan putih untuk paus.

Petasus (topi bertepi lebar) hitam, bila perlu, dapat ditambah dengan tali hijau. Ferraiolo (mantol panjang) dari sutera ungu hanya digunakan untuk acara-acara yang lebih resmi, misalnya wisuda di universitas katolik yang biasanya juga dihadiri uskup, berbagai acara kenegaraan dan lain-lain acara resmi non-liturgis. Jas/jaket panjang hitam biasa, yang dilengkapi penutup kepala sekalipun, boleh digunakan di atas busana resmi ini bila cuaca dingin mengharuskan.

Busana Sehari-hari

Busana uskup untuk keperluan sehari-hari adalah: jubah hitam polos setakat mata kaki (tanpa aksen merah); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu (opsional); collare ungu (opsional); stocking/kaos kaki hitam. Uskup yang berasal dari tarekat religius dapat mengenakan jubah institusinya. Cincin selalu dikenakan.

Mitra dan Tongkat Gembala

Mitra dan tongkat dapat dikenakan uskup pada berbagai upacara liturgi yang penting.

Pada prinsipnya mitra dikenakan uskup: saat duduk; saat menyampaikan homili; saat menyambut atau menyapa umat; saat berbicara kepada umat; saat menyampaikan ajakan untuk berdoa, kecuali bila sesaat sesudahnya ia harus melepasnya (untuk doa-doa tertentu); saat memberikan berkat meriah kepada umat; saat menerimakan sakramen; dan saat berjalan dalam prosesi.

Uskup tidak mengenakan mitra: selama ritus pembuka, doa pembuka, doa persembahan, dan doa sesudah komuni; selama doa umat, doa syukur agung, pembacaan injil, nyanyian yang dilagukan sambil berdiri, prosesi sakramen mahakudus; juga saat sakramen mahakudus ditakhtakan. Uskup tidak perlu menggunakan mitra dan tongkat saat ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang dekat. Untuk mudahnya, mitra bisa dianalogikan dengan mahkota seorang raja. Raja akan mengenakan mahkotanya saat berhadapan dengan rakyat, tapi tidak saat berhadapan dengan Tuhan (saat berdoa, memimpin doa atau saat Tuhan hadir dalam rupa sakramen mahakudus).

Uskup selalu memegang tongkat dengan tangan kiri (dengan bagian yang melengkung menghadap ke umat) dan memberkati dengan tangan kanan.

Pileola, Mitra dan Tongkat dalam Perayaan Ekaristi

Pileola (topi kecil atau solideo) ungu senantiasa dikenakan uskup dalam berbagai acara liturgis, termasuk misa. Dalam misa, pileola hanya dilepas sesaat sebelum prefasi dimulai dan dikenakan kembali saat uskup duduk setelah komuni selesai.

Dalam misa, mitra dan tongkat mulai dikenakan di sakristi, setelah selesai mengenakan kasula dan pileola. Pada akhir prosesi masuk gereja, sesampainya di panti imam, tongkat diserahkan dan mitra dilepas, kemudian uskup memberikan penghormatan kepada sakramen mahakudus (bila ada, dengan berkutut) dan/atau altar (dengan membungkuk dalam), serta mencium altar bersama-sama dengan diakon (atau imam) yang mendampinginya.

Pada prinsipnya, mitra dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kanan uskup, sementara tongkat diserahkan dan diambil oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kiri uskup. Pada umumnya pileola dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam atau sekretaris pribadi uskup) yang berada di sebelah kiri belakangnya. Magister caeremoniarum dapat melaksanakan semua ini, bila dikehendaki. Diakon, imam, atau magister caeremoniarum, menerima/menyerahkan pileola, mitra dan tongkat dari/kepada misdinar yang mengenakan velum.

Mayoritas imam atau diakon biasanya segan memasang dan melepas mitra dan pileola ini, karena menyangkut kepala uskup. Uskup pun mungkin merasa bisa melakukannya sendiri. Akan tetapi, ya beginilah seharusnya seorang pemimpin, dilayani oleh para pembantunya, setidaknya, saat upacara liturgi atau acara resmi lain di depan umum. Ini masalah kebiasaan saja sebenarnya, bukan soal tidak ingin dilayani. Uskup atau imam yang cuci tangan sebelum konsekrasi juga dilayani oleh misdinar, meski sebenarnya mereka bisa saja datang ke meja samping dan cuci tangan sendiri.

Setelah membaca ini semua, apa yang dapat dipetik oleh pembaca yang bukan uskup atau pembantu uskup? Ini sekedar contoh saja. Makin banyak pelayan komuni tak lazim yang mengenakan alba dan singel, kemudian juga mengenakan salib dada. Nah, salib dada ini menurut tradisi gereja katolik hanya dikenakan oleh uskup. Lagi, di banyak gereja kita melihat misdinar mengenakan jubah, superpli dan mantol kecil penutup pundak yang mirip paliola atau mozeta. Nah, itu juga asesori yang hanya dipakai oleh uskup. Monsignor (pejabat tinggi gereja) yang bukan uskup pun tidak mengenakan salib dada dan paliola atau mozeta. Ini semua ada di aturan detil yang dikeluarkan Vatikan. Semoga dengan membaca artikel ini, banyak pengetahuan baru yang didapat dan bisa dipakai untuk membetulkan praktik-praktik yang kurang pas selama ini.

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 20 No 1 - Jan-Feb 2009.
Catatan: Saya punya versi lain dari tulisan ini, berjudul Panduan Praktis Busana Uskup, lengkap dengan foto tentunya. Juga, saya pernah buat Panduan Praktis Pemakaian Mitra dan Tongkat dalam Misa Kudus. Kedua panduan ini saya bikin untuk Uskup Surabaya Vincentius Sutikno Wisaksono, gembala saya. Dengan senang hati akan saya kirimkan kepada uskup lain atau siapapun yang berminat. Silakan kontak saya di awibisono@hotmail.com.

Buat yang ingin belajar lebih lanjut atau sekedar cuci mata, Blog
Dappled Photos milik Fr. Jim Tucker ini punya koleksi gambar busana dan asesoris uskup yang luar biasa lengkap, mungkin yang terlengkap di internet saat ini. Lebih dari itu, Anda bisa baca macam-macam entry Wikipedia tentang Roman Catholic Vestments. Kalau mau yang mendalam, boleh coba baca Dress of Roman Catholic Clergy bikinan Fr. Joseph L. Shetler. Bagus sekali dan ekstensif. Nah, terakhir, kalau malas baca tapi pengin lihat ratusan foto, coba mampir ke website Dieter Philippi ini. Bahasa Jerman memang, tapi cobalah klik di sana-sini. Luar biasa peneliti yang satu ini, benar-benar serius mempelajari tutup kepala dan lain-lain asesoris busana. Kalau belum yakin dan bingung mau mulai dari mana, coba lihat koleksi foto sepatu paus miliknya ini.
Albert Wibisono0 comments

Bookmark and Share

Katedral Paus Bukan Basilika Santo Petrus


Mungkin enggak banyak yang tahu bahwa katedral paus bukan Basilika Santo Petrus di Vatikan. Memang bukan. Apa sih definisi gereja katedral? Bukan hanya sekedar gereja yang megah dan besar, katedral adalah gereja tempat kedudukan atau istana seorang uskup diosesan. Dinamakan gereja katedral karena di dalamnya pasti ada sebuah katedra (Latin: cathedra), yaitu takhta atau tempat duduk uskup. Takhta uskup ini letaknya di panti imam dan hanya dipakai oleh uskup setempat, atau uskup tamu yang diberi ijin untuk menggunakannya oleh sang uskup tuan rumah. Imam biasa tidak duduk di kursi ini. Bandingkan dengan takhta seorang raja yang ada di istananya. Hanya sang raja yang berhak menggunakannya. Begitulah kira-kira.

Nah, kembali ke katedral paus. Sebagai seorang uskup (Catatan: Paus adalah Uskup Roma), paus juga punya katedral dan di dalamnya tentu ada katedra atau takhtanya. Katedral paus sebagai Uskup Roma, tidak seperti dibayangkan banyak orang, adalah bukan Basilika Santo Petrus (dikenal juga dengan nama Basilika Vatikan). Katedral Uskup Roma adalah Basilika Santo Yohanes Lateran (dikenal juga dengan nama Basilika Lateran) yang ada di bagian lain kota Roma. Saat ini memang paus tidak lagi tinggal di Istana Lateran, tapi paus-paus terdahulu memang pernah tinggal di sana.

Foto hitam putih di ujung kanan atas adalah Paus Yohanes XXIII yang duduk di atas takhtanya di dalam Basilika Lateran. Foto berwarna di atas adalah Paus Paulus VI yang juga duduk di atas takhta, tapi bukan di dalam katedralnya.
Foto ini diambil saat ia menutup Konsili Vatikan II di Basilika Santo Petrus. Di sebelah kiri (kelihatan sebagian) dan kanan paus adalah dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik (Catatan: Diakon mengenakan dalmatik, bukan kasula seperti imam. Bagian bawah dalmatik berbentuk persegi, tidak melengkung seperti kasula).


Foto di atas adalah altar utama Basilika Lateran. Foto ini diambil pada hari Kamis Putih tahun 2007. Pada setiap hari Kamis Putih, paus selalu merayakan ekaristi di katedralnya, di Basilika Lateran. Di sana, setiap tahun, paus mencuci (dan mencium!) kaki 12 imam yang luar biasa beruntung!


Kalau Anda kepingin tahu bagaimana model katedra atau takhta paus yang sekarang, perhatikan detail foto di atas atau klik di atas fotonya untuk memperbesar. Di foto ini Paus Benediktus XVI duduk di atas takhtanya di dalam Basilika Santo Yohanes Lateran. Duduk di sebelah kiri paus (dari arah pemirsa) adalah Monsignor William Millea, salah seorang seremoniarius paus.
Hampir bisa dipastikan yang berada di sisi satunya adalah Magister Caeremoniarum-nya, Monsignor Guido Marini. Oh ya, kedua monsignor ini bukan uskup ya. Setidaknya, saat artikel ini ditulis mereka belum ditahbiskan sebagai uskup. Seperti pernah saya tulis di artikel yang lain, monsignor adalah sebutan kehormatan pejabat gereja dengan level tertentu, bukan melulu untuk uskup.
Albert Wibisono0 comments

Bookmark and Share

Collar Putih = Imam?


Banyak pertanyaan timbul ketika umat melihat para anggota Schola Cantorum Surabaiensis (foto atas) tampil dengan seragam kebesarannya, jubah hitam dengan collar putih dan superpli. Kebanyakan bertanya, ”Apa mereka semua imam?” Jawabnya adalah, ”Bukan, tidak seorangpun dari mereka adalah imam.” Lalu, ”Kenapa mereka semua memakai collar putih?” Memang, di Indonesia ada anggapan bahwa collar putih merupakan identitas imam, sehingga hanya imam yang memakainya. Ini merupakan anggapan yang kurang benar. Dalam berbagai upacara liturgi—termasuk perayaan ekaristi—di Vatikan dan negara barat lainnya, collar putih itu selalu dikenakan bersama jubah oleh para pelayan, termasuk di antaranya misdinar dan anggota koor. Untuk lebih jelasnya, perhatikan beberapa foto berikut ini.


Seorang misdinar memegang Buku Misa Romawi di hadapan Paus. Perhatikan collar putih yang ia kenakan bersama dengan jubah hitam dan superpli. Ia mengenakan roman collar dari plastik yang melingkari seluruh lehernya, bukan hanya slip collar warna putih kecil yang dimasukkan ke bagian depan kerah jubah.


Perhatikan misdinar yang berprosesi bersama Bernard Kardinal Law, semuanya mengenakan jubah hitam dengan roman collar dan superpli.


Perhatikan misdinar pembawa tongkat gembala Paus yang berupa salib (paling kanan) dan seorang lagi pembawa buku Misale Romawi (nomor dua dari kanan); mereka mengenakan jubah hitam dengan roman collar dan superpli. Pembawa salib Paus juga mengenakan velum untuk memegang salib, yang secara tidak langsung berfungsi untuk menyatakan bahwa ia adalah pelayan, bukan pemilik salib itu. Dua pelayan lain dengan jubah ungu dengan roman collar dan superpli adalah para seremoniarius. Uskup Agung Piero Marini (dengan rambut putih) di foto ini adalah MC Kepausan saat foto ini diambil.


Perhatikan Uskup Agung Piero Marini dan seorang misdinar pembawa tongkat gembala Paus (tampak sebagian saja, ia mengenakan velum) dan seorang lagi misdinar pembawa buku Misale Romawi. Mereka semua mengenakan roman collar.


Perhatikan seremoniarius Mgr. Giulio Vivani dengan jubah ungu dan seorang misdinar pembawa mitra Paus (ia mengenakan velum), keduanya mengenakan roman collar. (Catatan: Monsignor adalah sebutan kehormatan pejabat gereja dengan level tertentu, bukan melulu untuk uskup.)


Perhatikan Uskup Agung Piero Marini (kanan), MC Kepausan saat itu dan Mgr. Francesco Camaldo, Dekan Korps Seremoniarius Paus, yang mengenakan jubah ungu.
Mgr. Marini mengenakan salib pektoral (salib dada), tanda bahwa ia seorang uskup. Mgr. Camaldo, bukan uskup, tidak mengenakan salib pektoral. Di belakang Mgr. Marini adalah misdinar pembawa tongkat dan di belakang Mgr. Camaldo adalah misdinar pembawa mitra, keduanya mengenakan velum. Misdinar yang berjalan di paling belakang bertugas membawa buku Misale Romawi. Mereka semuanya mengenakan roman collar.


Perhatikan para misdinar ini, mereka mengenakan jubah dengan slip collar dari plastik (bukan roman collar) yang diselipkan di kerah jubah mereka.

Kedua foto berikut ini diambil di Bukit Zaitun, Israel. Mereka adalah anggota koor yang berprosesi pada hari Minggu Palma.



Lalu, bagaimana membedakan pemakai collar putih yang kardinal, uskup, imam, diakon atau pelayan biasa? Yang jelas, pelayan tak tertahbis (akolit, misdinar atau anggota koor) hanya memakai jubah dengan collar putih pada saat upacara liturgi. Mereka tidak memakai jubah dan collar putih di luar upacara liturgi atau bahkan untuk sehari-hari. Dalam upacara liturgi, antara pelayan tertahbis dan tidak biasanya dapat dibedakan dari asesoris lain yang dipakai, misalnya stola, salib pektoral, mitra dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, silakan baca tulisan-tulisan saya yang lain tentang busana liturgi.

Albert Wibisono6 comments

Bookmark and Share
Subscribe to: Posts (Atom)

Tradisi Katolik's Fan Box

Tentang Saya

Albert Wibisono
Surabaya, Indonesia
Saya awam Katolik, peminat liturgi, suka sejarah, ingin terus belajar dan ikut melestarikan warisan sejarah dan tradisi Gereja Katolik. Blog ini saya bikin untuk membagi semua yang saya pelajari tentang liturgi dan tradisi Gereja Katolik. Banyak yang nanya apa saya pernah masuk seminari, secara formal belajar Gregorian atau bahasa Latin. Jawabnya adalah nggak. Saya umat katolik biasa-biasa aja, bukan tradisionalis garis keras, bukan anggota Opus Dei, FSSP, SSPX atau organisasi lainnya. Dulu waktu masih SD, saya memang pernah jadi Ketua Presidium Legio Maria dan juga jadi putra altar. Hanya itu. Dari hasil pantauan saya, banyak yang diarahkan oleh Google ke blog ini dan menemukan apa yang dicari. Ada juga yang enggak. Seringkali saya tahu di mana bisa menemukan materi yang dicari, meski tidak selalu. Dengan senang hati saya akan bantu sebisanya, kalau diminta. Silakan kirim e-mail ke saya di albert.wibisono[at]gmail.com.

Arsip Blog

Labels

Download Pilihan

Website Pilihan

Koleksi Buku

  • A01 Missale Romanum 2002 Lat (MTF)
  • A11 Missale Romanum 1962 Lat-Eng (Baronius)
  • A12 Missale Romanum 1962 Lat-Eng (Angelus)
  • A13 Gregorian Missal Lat-Eng (Solesmes)
  • A14 Ordo Missae Ad Usum Fidelium Lat (Vatican)
  • A15 Ordinarium Missae 8 Bahasa (Ancora)
  • A21 Tata Perayaan Ekaristi 2005 Ind (KWI)
  • A31 Evangeliarium Ind (KWI)
  • A41 Ordo Lectionum Missae Lat (Vatican)
  • A42 Ordo Cantus Missae Lat (Vatican)
  • A55 Liturgia Horarum: Textus Inserendi Lat (Vatican)
  • A56 Liturgia Horarum: Ad Completorium Lat (Vatican)
  • A81 Institutionis Generalis Misalis Romani Lat (Vatican)
  • A82 Pedoman Umum Misale Romawi Ind (KWI)
  • A83 General Instruction of the Roman Missal Eng (USCCB)
  • A91 Caeremoniale Episcoporum Lat (Vatican)
  • A93 Ceremonial of Bishops Eng (USCCB)
  • B01 Ordo Baptismi Parvulorum Lat (Vatican)
  • B02 Ordo Paenitentiae Lat (Vatican)
  • B11 De Benedictionibus Lat (Vatican)
  • B12 Ibadat Berkat Ind (KWI)
  • B13 Book of Blessings (USCCB)
  • B21 De Ordinatione Lat (Vatican)
  • B22 Ordo Benedictionis Abbatis et Abbatissae Lat (Vatican)
  • B31 Ordo Coronandi Imaginem Beatae Mariae Virginis Lat (Vatican)
  • B32 De Sacra Communione et De Cultu Mysterii Eucharistici Extra Missam Lat (Vatican)
  • B41 De Exorcismis et Supplicationibus Quibusdam Lat (Vatican)
  • B51 Roman Ritual: Sacraments & Procession Lat-Eng (Weller)
  • B53 Roman Ritual: The Blessings Lat-Eng (Weller)
  • G01 Graduale Romanum Lat (Solesmes)
  • G02 Graduale Triplex Lat (Solesmes)
  • G03 Graduale Simplex Lat (Vatican)
  • G04 Liber Cantualis Lat (Solesmes)
  • G05 Kyriale Lat (Solesmes)
  • G06 Liber Hymnarius Lat (Solesmes)
  • G07 Antiphonale Monasticum Lat (Solesmes)
  • G11 Graduale Romanum: Comitante Organo 1-3 Lat (Solesmes)
  • G12 Liber Cantualis: Comitante Organo Lat (Solesmes)
  • G81 Beginning Studies in Gregorian Chant Eng (Cardine)
  • G82 A Gregorian Chant Handbook Eng (Tortolano)
  • G83 A Plain and Easy Introduction to Gregorian Chant Eng (Treacy)
  • L01 Ceremonies of the Modern Roman Rite Eng (Elliott)
  • L02 Ceremonies of the Liturgical Year Eng (Elliott)
  • L03 The Spirit of the Liturgy Eng (Ratzinger)
  • L04 A New Song for the Lord Eng (Benedict XVI)
  • L05 The Meaning of the Sacramental Symbols Eng (Richter)
  • L06 Lakukanlah Ini: Sekitar Misa Kita Ind (Suryanugraha)
  • L07 Rupa dan Citra: Aneka Simbol dalam Misa Ind (Suryanugraha)
  • L08 Liturgical Question Box Eng (Elliott)
  • L09 What Happens at Mass Eng (Driscoll)
  • L10 The Sacristy Manual Eng (Ryan)
  • L11 The Organic Development of the Liturgy Eng (Reid)
  • L12 Why Catholics Can't Sing Eng (Day)
  • L13 A Challenging Reform Eng (Marini)
  • L14 History of the Liturgy Eng (Metzger)
  • L15 The Liturgy Documents Vol 1 Eng (LTP)
  • L16 The Liturgy Documents Vol 2 Eng (LTP)
  • L51 Celebration of Mass Eng (O'Connell)
  • L52 Medieval Liturgy Eng (Vogel)
  • R01 Inside the Vatican Eng (Reese)
  • R02 All the Pope's Men Eng (Allen)
  • R03 Chronicle of the Popes Eng (Maxwell-Stuart)

Koleksi CD/VCD/DVD

  • DG01 Gregorian Chant: One Liturgical Year 19 CDs Lat (Schola Bellarmina)
  • DG02 In Nomine Patris: Cantus Gregorianus Lat (Schola Iacartensis)
  • DL01 Christmas & Easter Liturgies Celebrated by Pope John Paul II Eng-TeksInd (Vatican)
  • DL02 Solemn Funeral Mass for HH John Paul II Eng (EWTN)
  • DL03 Solemn Mass of Inauguration of Pope Benedict XVI Eng (EWTN)
  • DL11 Misa Stasional Uskup Surabaya dalam Bahasa Latin Lat-Ind (TK)
  • DL21 Tridentine Mass Lat-Eng (FSSP)
  • DL22 Tridentine Mass: How to Celebrate 8 Bahasa (SSPX)
  • DR01 Inside the Vatican Eng-TeksInd (National Geographic)
  • DR02 Inside the Vatican Eng-TeksInd (Discovery Channel)
  • DR03 Discovering the Vatican 4 DVDs 8 Bahasa (TVP)
  • DR11 Concilium Vaticanum II 4 Bahasa (Vatican)
  • DR12 Ioannes Paulus II 4 Bahasa (Vatican)
  • DR13 Tu Es Petrus 4 Bahasa (Vatican)
  • DR21 Ancient Rome: The Rise and Fall of an Empire 6 VCDs Eng-TeksInd (BBC)
  • DR22 Colosseum: Rome's Arena of Death Eng-TeksInd (BBC)
  • DR23 The Divine Michelangelo 2 VCDs Eng-TeksInd (BBC)
  • DR31 Jerusalem: Within These Walls Eng-TeksInd (National Geographic)
  • DR32 Treasure Seekers: Quest for the Grail Eng-TeksInd (National Geographic)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar