Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Yogyakarta dan sekitarnya, salah satu tujuannya untuk berziarah ke beberapa Goa Maria. Pagi-pagi benar saya meninggalkan Ibukota menuju Yogya dengan harapan salah satunya bisa berdoa dengan khusuk di tempat ziarah tersebut dengan latar alam yang masih asri.
Ketika baru tiba di salah satu tempat ziarah yang cukup terkenal, mata saya tertuju pada spanduk besar ucapan selamat datang. Yang menarik, spanduk tersebut memuat brand sebuah produk yang lagi ramai dibicarakan belakangan ini setelah kasus penarikannya di luar negeri. Tidak jelas kapan spanduk itu mulai terpasang, apakah sesudah atau sebelum kasus tersebut. Saya bertanya-tanya dalam hati apakah brand tersebut menjadi donator atau sponsor tempat ziarah ini, atau, terbersit pikiran yang agak nakal, mungkin brand itu lagi "buang sial" setelah kasus yang menimpanya, dengan menjadi sponsor di tempat ziarah rohani. No problem at all, saya tidak terlalu menghiraukan hal tersebut, dan saya terus melanjutkan perjalanan memasuki areal tempat ziarah.
Di depan goa dan patung Bunda Maria, saya pun mengeluarkan Rosario dan mulai berdoa. Saat itu hanya hanya ada beberapa gelintir orang yang bersama-sama berdoa. Tidak lama kemudian, pada dasa pertama Rosario, tiba-tiba datang seekor doggy mendekat dan mengambil posisi menghadap patung Bunda Maria. Mata saya yang tidak sepenuhnya terpejam bisa melihat gerak-gerik mahluk tersebut. Sebenarnya saya tidak terlalu terganggu dengan kehadiran sobat kecil ini, karena saya termasuk "dog lover". Tetapi tiba-tiba si doggy bertingkah mencurigakan, bahasa tubuhnya mengisyaratkan seperti hendak - maaf - pup. Saya pun mulai panik, konsentrasi pun buyar. Hampir saja saya menghardik dan mengusirnya, eh tiba-tiba doggy itu pun berdiri dan ngeloyor pergi, dan "kecurigaan" saya pun tidak terbukti.
Saya kembali melanjutkan Rosario. Kira-kira di dasa kedua, tiba-tiba terdengar suara nyaring motor yang digas keras-keras, bukan motor yang yang sedang dikendarai, tetapi tampaknya motor yang sedang diservis. Oh, tidak, mengapa suara itu di sini dan sekarang? Suara motor itu meraung-raung dan berulang-ulang. Yang jelas saya bukan meditator ulung yang mampu berkonsentrasi dalam berbagai suasana. Suara itu benar-benar mengganggu. Beberapa kali saya harus mengambil jeda menunggu hingga suara itu berhenti, baru melanjutkan doa Rosario. Namun suara itu seperti tidak kunjung berhenti, setiap saat bisa muncul dan mengganggu. Akhirnya, saya menyerah, saya anggap saja suara motor itu iringan lagu rohani yang tidak lazim bagi doa Rosario saya. Dalam situasi seperti itu saya membutuhkan waktu hampir 30 menit dari dasa kedua hingga ketiga, akibat jeda dan ketidakmampuan berkonsentrasi.
Memasuki dasa keempat, suara motor sudah tidak terdengar, untuk sesaat saya merasakan kelegaan karena dapat berdoa dengan lebih khusuk. Namun itupun tidak berlangsung lama. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara pemandu rombongan dengan pengeras suara, tampaknya serombongan anak-anak sekolah. Suara itu semakin mendekat hingga akhirnya saya bisa merasakan rombongan tersebut tiba dekat saya, dengan suara kerumunan khas anak-anak dan remaja. Yah, pupus sudah impian saya untuk berdoa hening dengan suasana alam yang asri. Ketika saya meyelesaikan Rosario saya dan mulai membuka mata, saya mendapati diri saya berada di tengah lautan "krucil".
Semula saya merasa doa Rosario saya kali ini benar-benar gatot (gagal total). Namun ternyata tidak sepenuhnya demikian. Hati saya tiba-tiba tergerak untuk merenungkan apa yang baru saya alami. Ternyata ada beberapa hal yang bisa saya petik dari pengalaman yang tidak sempurna ini.
Saya mulai introspeksi, apakah keinginan saya untuk berdoa dengan khusuk, hingga menempuh jarak ratusan kilometer, tidak lebih adalah keinginan ego saya untuk selalu "comfort". Ini bukan tentang Tuhan lagi, tetapi tentang "saya". Karena toh Tuhan ada di mana saja, bahkan dalam lubuk hati kita yang paling dalam.
Pengalaman ini juga mengajar saya berdamai dengan kelemahan dan keterbatasan diri. Ketidakmampuan berkonsentrasi di tengah susana yang kurang mendukung adalah sangat manusiawi, saya percaya Tuhan akan memaklumi hal tersebut.
Begitu pula pengalaman ini juga membuat saya belajar berdamai dengan kondisi eksternal yang tidak selalu ideal. Ketika keadaan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, sebagai umat beriman kita percaya, bahwa Tuhan tetap memberikan yang terbaik bagi yang mengimani-Nya.
Sebelum meninggalkan tempat ziarah tersebut, saya sempat melihat tulisan pada spanduk yang lain dari sponsor yang sama. Di situ tertulis kutipan Kitab Mazmur: "Tuhan itu baik kepada semua orang" (Mazmur145:9a). Ya, saya setuju, Tuhan itu memang baik. Bahkan dalam doa yang paling amburadul dan gak konsen, Tuhan tetap berbicara dan mengetuk hati kita. Dia selalu hadir dan ada dalam setiap suasana eksternal dan dalam setiap suasana hati kita.
GBU,
Dicky Dwijanto
http://erosario.net
(Sebuah Percikan Permenungan)
Kisah Kino dan Juana yang merasa kaya karena menemukan mutiara terbesar di dunia akhirnya kandas, setelah oleh para calon pembeli gagal mendapatkannya yang telah melarikan diri. John Steinbecxk amat lihai dalam memainkan penanya, sehingga para pembaca diajak untuk berdecak kagum dengan apa yang dialami oleh Kino itu sendiri. Tulisan yang berjudul The Pearl dan sudah di-film-kan ini, hendak mengajak kita betapa berharganya nilai keutuhan dan kekuatan keluarga dibandingkan dengan kekayaan yang baru saja ditemukan oleh Kino. Namun setelah mutiara yang menjadi rebutan dan pergunjingan banyak orang itu dilemparkan kembali ke dasar samodra, dan hati Kino kini menjadi tenang kembali.
Tiap orang mempunyai kelekatan yang mendasar dalam hidup ini. Karena kelekatan itu juga manusia bisa bermusuhan bahkan saling membunuh. Memang, sudah menjadi kodratnya bahwa sejak manusia hidup di dunia ini ada kecenderungan untuk memiliki. Keinginan untuk memiliki dan memiliki secara berlebihan, membuat orang lupa diri, sehingga memunculkan keserakahan yang luar biasa. Kisah Kino di atas, sebenarnya hendak mengkritik kita bahwa hidup yang sederhana dan menerima dengan apa yang dimilikinya adalah sikap hidup yang baik. Dalam sejarah maupun mitologi, keinginan yang berlebihan bisa membawa kehancuran, seperti dalam diri Raja Midas dalam mitologi Yunani maupun dalam diri Qarun kisah dari Arab. Dari kisah Qarun tersebut, muncul kata harta karun. Mereka sama-sama mati menggenaskan karena sikapnya yang tamak.
Kelekatan tidak hanya terhadap barang saja, tetapi bisa juga kelekatan terhadap relasi. Kalau seseorang menyandarkan diri pada relasi dan ingin menguasainya, maka yang terjadi adalah kekecewaan dan cemburu karena ternyata orang lain yang kita anggap kita kuasai ternyata memiliki relasi dengan orang lain. Ingatkah kisah Alexander Agung (356-323 SM), raja Macedonia yang mempunyai hubungan khusus dengan lelaki? Namanya Hephaistion. Dan itu pun hancur karena terjadi relasi yang tidak sehat. Mutiara yang indah dalam persahabatan itu bisa menjadi kusam, setelah ada indikasi bahwa persahabatan tersebut tidak tulus. Sebenarnya, persahabatan yang tulus itu tidak mengikat melainkan membebaskan satu dengan yang lain. Ada sebuah kisah pengalaman tentang seorang dua orang ibu yang sangat akrab. Kalau salah satu ada di sana, pasti yang lain pasti juga berada di sana. Kedua orang ibu itu bersatu dan tidak pernah terpisahkan. Kedua orang itu dalam bersahabat sungguh-sungguh tulus. Namun, pada suatu hari, mereka berdua mempunyai ide untuk bekerja sama dalam bisnis. Pada awalnya, bisnis berjalan dengan lancar. Tetapi lama-lama mereka saling mencurigai. Ketidakpercayaan mulai muncul, tatkala diperhadapkan dengan kepentingan diri sendiri. Kembali pada novel The Pearl tadi, pasangan suami istri yang tadinya harmonis, kini menjadi saling menyalahkan bahkan terjadi pembunuhan tatkala menemukan mutiara yang besar di seluruh dunia. Kekayaan yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan malah menjadi sumber kecurigaan dan akhirnya keluarga itu menjadi terasing dari dunianya untuk mempertahankan mutiara yang sangat berharga.
Kelekatan dengan diri sendiri juga bisa menohok pada emosi kita. Orang yang memiliki rasa gengsi tinggi atau arogan, sulit untuk bersikap rendah hati. Novel Biografi berjudul The Perfect Joy of St. Francis tulisan Felix Timmermans mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan sejati itu terwujud kalau seseorang rela melepaskan pangkat dan jabatan untuk melayani orang lain. Dalam kisah itu, St. Fransiskus (1181 , 1226), menjadi orang yang lepas bebas tidak melekat dengan seseorang maupun sesuatu. Ia membuang mutiara dan ia hidup dalam kemiskinan yang radikal. Orang yang takut membuang mutiaranya, bagaikan kisah dari Afrika berikut ini. Pada waktu itu, pemburu-pemburu ingin mendapatkan kera yang bertengger di pohon. Untuk menangkap binatang tersebut, seorang pemburu menyediakan kacang di dalam toples. Karena kera itu rakus, maka kera mengambil kacang dalam toples sampai-sampai karena tangannya penuh dengan kacang, maka sulit untuk keluar dari toples tersebut. Begitulah, para pemburu dengan mudah menangkap kera tersebut.
Bukankah dalam hidup ini, kita membawa 2 beban. Beban di depan berisi tentang kecemasan-kecemasan hidup yang akan datang. Sedangkan tas yang kita bawa di belakang berisi tentang pengalaman masa lalu yang senantiasa kita ingat karena kesalahan-kesalahan yang pernah kita alami. Inilah yang membuat hidup ini terasa berat. Bahkan ada orang yang mempunyai kecenderungan untuk masuk dalam dunianya sendiri yang penuh dengan penderitaan. Kesenangan semacam disebut juga sebagai mashochisme. Orang yang sudah terlena dengan kemapanannya (esthablished), tidak mau mengalami dunia yang lain. Kemapanan atau stagnasi dalam kehidupan kita yang penuh dengan tantangan dan pembaharuan bisa menimbulkan manusia-manusia kerdil pikirannya. Dalam dunia yang serba canggih, tehnologi sudah menjadi makanan sehari-hari, sehingga orang yang tidak menguasai informasi bisa tergilas di dalamnya. Jargon menguasai informasi berarti menguasai dunia mendapatkan kebenarannya. Untuk berkembang dalam bidang ini, mutiara-mutiara yang dibuang adalah rasa gatek (gagap tehnologi) dan berani melangkah maju ke depan meski banyak tantangan. Membuang mutiara dalam hidup ini bukan pekerjaan yang mudah, karena harus ada kesiapan mental yang kuat. Kita bagaikan masuk dalam perang kehidupan. Kemenangan akan terjadi, jika kita sungguh-sungguh berani membuang sesuatu yang bernilai dalam hidup kita, tetapi yang menghambat untuk perkembangan pribadi. Oh, mutiara-mutiara.
Merauke,
Markus Marlon msc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar